Puncak
peringatan hari olahraga nasional (Haornas) ke-31 tanggal 9 september 2014
diselenggarakan dikota solo. Peringatan dengan tema sentral olahraga satukan semnagat bangsa tersebut memiliki arti yang sangat
penting dan strategis terkait dengan niat pencerahan olahraga masa depan.
Strategis karna memiliki momentum istimewah dari sisi historis maupun politis.
Secara historis peringatan hari ini bertempat dikota solo yang merupakan tempat
pencananganan harornas kali pertama pada tanggal 9 september 1983.
Ini akan memberikann harapan penggadaan bahwa
lompatan energy baru sebagai dampak dari proses tetirah. Secara politis akan memiliki
dampak besar karna ini merupakan peringatan Haornas terakhir dalam kurun massa
pemerintahan Sosila Bambang Yudiyono (SBY). Secara politis akan menjadi upaya
pemerintahan akan melakukan transformasi estafes kebijakan yang berorentasi
khusnul Khotimah dalam pembangunan keolahragaan kedepan.
Penentuan
tema olahraga satukan semangat bangsa tentu
saja hasil pengolahan atas kebutuhan dasar bangsa ini terkait dengan penempatan
peran strategi pembangunan olahraga bagi penguatan spirit bangsa. Bangsa yang besar
membutuhkan pemfokusan dan penyatuan spirit. Tema tersebut sekaligus memiliki
arti bahwa .’ penyatuan semangat’ adalah sesuatu yang secara sadar harus
dibenahi secara serius dalam persoalan internal keolahragaan kita. Masih hangat
dalam ingatan pegiat olahraga pada khususnya tentang pernyataan menteri pemuda
dan olahraga (Menpora) Roy Suryo beberapa waktu yang lalu. Ada bahan renungan
besar dari pernyataan menpora terkait kegagalan kontingen Indonesia di SEA GAME
di Myanmar beberapa waktu yang lalu.
Menteri
yang juga pakar telematika itu menganggap penyebab kegagalan duta olahraga di
perhelatan pesta olahraga bangsa-bangsa asia tenggara adalah tidak harminisnya
hubungan antara koni olahraga nasional dengan komite olahraga Indonesia (KOI).
Kementrian pemuda dan olahraga (Kemenpora) untuk kali yang kesekian secara
terang-terangan akan melakukan uji ulang dan revisi atas substansi
undang-undang (UU). No.3/2005 tentang system keolahragaan nasional (UUSKN),
terutama terkait dengan pemisahan tugas pokok dan fungsi antara KONI dan KOI.
Pemisahan komite olahraga nasional dan komite olimpiade Indonesia konon menjadi
sumber masalah munculnya ketidakharmonisan tata kelola olahraga prestasi di
negeri ini. Benarkah Demikian..???
Dalam
amanat UUSKN telah amat jelas ditegaskan pengelolaan sintem keolahragaan
nasional merupakan tanggung jawab menteri. Pihak pemerintah berkewajiban
menentukan kebijakan nasional, standar keolahragaan nasional, serta koordinasi
dan pengawasan terhadap pengelolaan keolahragaan nasional. Dari sisi amanat
yang demikian sungguh kita pantas berbangga bahwa regulasi pengelolaan
keolahragaan di Indonesia sebenarnya telah memiliki paying hokum yang sangat
kuat. Hanya sedikit Negara dimuka bumi ini yang memiliki undang-undang yang
mengatur secara khusus tentang keolahragaan.
Bahkan,
keolahragaan di Indonesia disamping di jamin UUSKN juga dipayungi oleh
undang-undang yang mengatur persoalan keolahragaan, Seperti UU tentang system
pendidikan nasional (sisdiknas),
undang-undang tentang kepariwisataan, dan undang-undang tentang kesehatan.
Pertanyaannya adalah : apakah ini menguntungkan atau merugikan bagi kemajuan
pembangunan keolahragaan kita.? Jawabannya tentu saja amat bergantung dari sisi
apa dan sisi mana kita memaknainya. Sisi hebatnya tentu arah pembangunan
keolahragaan semakin kokoh karena didukung oleh program-program besar berskala
nasional yang didukung lintas kementrian. Tapi, sisi buruknya adalah pada
implementasi yang terganjal persoalan “penyakit” disharmoni dan
ketaksingkronan, penyakit besar yang gampang yang menjangkiti bangsa yang besar
seperti Indonesia ini.
Penyakit
seperti itu ternyata selalu menjadi simtom terkait dengan wujud tata kelola
olahraga prestasi, dimana persoalan pengavelingan kewenangan selalu berujung
pada dualisme menimbulkan dishormoni dan program kerja yang tidak sinergis.siapa berwenang, untuk apa
sebenarnya telah jelas diatur dalam UUSKN. Komite olahraga nasional seharusnya
tidak dimaknai dengan sebuah ‘organisasi’ dalam wujud fisik, tetapi snagat baik
klw lebih kita pandang sebagai sebuah “fungsi”.
Dalam
UUSKN komite itu tidak ditulis sebagai komite olahraga nasional (huruf besar),
tetapi ditulis sebagai komite olahraga nasional (huruf kecil). Artinya, UUSKN telah
mengamanatkan fungsi yang dibentuk oleh induk-induk cabang olahraga tersebut
memiliki sifat mandiri dan produktif efektif dalam menjalankan tugas.
Fungsi
komite olahraga nasional bersifat koordinatif kedaerah karena komite olahraga
nasional memang bertanggung jawab terkait dengan kesuksesan olahraga prestasi
nasional dengan segenap pernik-perniknya. Bagaimana dengan KOI..??
Pada
pasal 44 UUSKN telah secara tegas dinyatakan KOI adalah bentuk nyata dari
National Olympic committee (NOC)
sebagaimana telah diakui resmi oleh internasional Olympic committee (IOC).
KOI
meningkatkan dan memelihara kepentingan Indonesia serta memperoleh dukungan
masyarakat untuk mengikuti Olympic games, asian games, south east asia games,
serta pecan olahraga internasinal lai.
Ini
merupakan bagian tidak terpisahkan dari sisi besar Olympic solidarity
sebagaimana eksistensi NOC dinegara lain diseluruh dunia, yakni untuk menopang
kesuksesan penyelenggaraan pekan olahraga nasional internasional. Ini sebuah
misi global universal yang bertujuan mulia, yakni mewujudkan persahabat dan
perdamaian dunia serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui
pencapaian prestasi olahraga.
HENTIKAN
DISHARMONI
Berdasarkan
pencermatan atas sisi materi yang menjelaskan komite olahraga nasional dan KOI
dalam UUSKN. Sebenarnya terlalu premature kalau dianggap mengandung potensi
komflik yang menyebabkan disharmoni. Tidak ada masalah seriu dengan isi UUSKN
terkait komite olahraga nasional dan KOI. Dengan demikian, mengubah substansi
pasal-pasal menurut hemat saya merupakan pekerjaan yang memerlukan energy besar
tetapi barang kali tidak akan menyelesaikan secara signifikan persoalan
dualism, disharmoni dan kurangnya sinergi dalam tata kelola penyelenggaraan
olahraga prestasi di Indonesia.
Ini
dapat saya identikan dengan upaya membangun dan mengubah bentuk banyak patung
polisi dipinggir jalan dengan tujuan meningkatkan kedisiplinan masyarakat dalam
berlalu lintas.
Persoalan
disharmoni adlaah sebuah wilayah “mentalitas” yang dapat diatasi ndengan cara
membangun mind set sportif kolektif keperilakuan dan sikap seluruh insane
olahraga prestasi.
Penghentian
disharmoni dapat dilakukan antara komite olahraga nasinal dan KOI tidak boleh
dipandang sebagai sesuatu yang dikotomis. Selama ini ada pemahaman umum yang
cukup fatal bahwa komite olahraga nasional “hanya terbatas” menangani persoalan
olahraga dalam negri yang menyukseskan pada level teratas penyelenggaraan pekan
olahraga nasional (PON).
Sementara
KOI tidak boleh ikut campur dalam urusan yang ditangani komite olahraga
nasional karena KOI harus berurusan dengan pecan olahraga internasional. Komite
olahraga nasional menangani urusan olahraga prestasi dalam negeri, KOI
menangani urusan prestasi olahraga luar negeri.
Mindset
yang demikian akan mengarah pada diskresi peran yang menjadi penyebab
disharmoni, padahal amanat UUSKN baik yang sifatnya tersurat maupun tersirat
tidak demikian. Tidak akan harmonis sebuah keluarga jika peran dikotomis suami
dan istri diberlakukan. Suami hanya mengurus urusan diluar sedangkan istri
mempunyai kewenangan mengurus /masalah/problem di dalam rumah tangga.
Keharmonisan
dan kesejahteraan keluaga mengharuskan bersatu padunya peran suami dan istri
untuk urusan luaar maupun diluar. Komite olahraga nasional dan KOI bersatu padu
untuk membesarkan rasa kebanggaan nasional melalui olahraga, luar maupun dalam
negeri.
Keduanya
secara harmonis harus berupaya mewujudkan tujuan nasional keolahragaan secara
simultan, kokoh, dan nyata. Hal itu pasti bisa karena semangat sportif itu adalah
semangat ksatria. Dirgahayu olahraga nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar