Kamis, 09 April 2015

PEMBANGUNAN OLAHRAGA KABUPATEN BIMA



Propinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri dari 8 Kabupaten (Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima) dan 2 Kota (Mataram dan Bima). Kabupaten Bima, yang merupakan bagian dari propinsi NTB, berada di ujung timur propinsi NTB, bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kabupaten Bima). Di sebelah barat, Kabupaten Bima berbatasan dengan wilayah Kabupaten Dompu, Selat Sape di sebelah timur, Laut Flores di sebelah utara dan di sebelah selatan dengan Samudera Indonesia.
Saat ini luas wilayah Kabupaten Bima mencapai 4.389,40 Hektar, dengan perincian 54.36 persen hutan negara, 9.25 persen hutan rakyat. Luas lahan yang dipergunakan untuk persawahan sebesar 6,98 persen, kemudian 13.07 persen tanah tegal/kebun. Tanah yang sementara ini tidak diusahakan mencapai 5.21 persen. Lainnya merupakan lahan tambak, kolam, perkebunan dan lainlain.
Di Kabupaten Bima terdapat 18 kecamatan. Kecamatan Sanggar dan Tambora merupakan kecamatan yang berlokasi terjauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Bima, dimana jarak masing – masing sekitar 130 km dan 250 km. Selain itu, kedua kecamatan ini merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Bima dengan luas masing-masing 720 km2 dan 505 km2. Ibukota Kecamatan Donggo yang berlokasi di desa O’o mempunyai ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan laut. Hal ini menjadikan Kecamatan Donggo sebagai kecamatan dengan lokasi ketinggian di atas permukaan laut yang tertinggi.
Sebagai salah satu aspek pembangunan, Pemerintah memiliki fungsi strategis dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat karena berkaitan kegiatan olahraga, estetika serta kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari. Dampak negatif yang disebabkan oleh kualitas lingkungan yang buruk, menuntut pemerintah sebagai mediator pembangunan olahraga di kabupaten bima.
Kabupaten Bima merupakan wilayah terbesar dikota bima yang memiliki 18 kecamatan dengan indeks pembangunan manusia tertinggi dibandingkan kota bima. Kondisi sumber daya manusia Kabupaten Bima dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2005, IPM Kabupaten Bima sebesar 61,70 dan meningkat menjadi 65,02 pada tahun 2009 dan diproyeksikan IPM Kabupaten Bima meningkat menjadi 66,23 pada tahun 2010. Pertumbuhan ini berada diatas rata – rata dan tidak kalah cepat dan tidak kalah cepat dengan daerah – daerah lain. (BPS dan Bappeda Kabupaten Bima, 2010).
Bila proses pembangunan daerah hanya mengacu pada perencanaan pembangunan nasional saja, maka potensi pembangunan daerah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena daerah yang akan bertumbuh cepat hanyalah daerah yang kondisi dan potensinya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Proses pembangunan pada daerah lainnya tentu akan kurang optimal karna kurang didukung oleh prioritas pembangunan nasional. Di samping itu, melalui rencana pembangunan daerah tersebut, permasalahan khusus daerah akan dapat ditanggulangi secara lebih tepat dan perbedaan potensi potensi pembangunan tersebut akan dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dengan cara demikian, pertumbuhan ekonomi daerah akan dapat dioptimalkan dan ketimpangan pembangunan antar daerah akan dapat pula diminimumkan. Karena itu, wajar kirannya kalau Gillie (1967) mengatakan bahwa: “National planning and Regional Planning generally go together, though the two have not always been established simultaneously in a logical way”. (Sjafrijal, Pembangunan daerah 2014:12.)
Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia pada suatu daerah dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar di masyarakat tersebut dapat teratasi. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah kemiskinan, pengangguran, buta huruf, ketahanan pangan, dan penegakan demokrasi. Namun persoalannya adalah capaian pembangunan manusia secara parsial sangat bervariasi dimana beberapa aspek pembangunan tertentu berhasil dan beberapa aspek pembangunan lainnya gagal.
Dewasa ini persoalan mengenai capaian pembangunan telah menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan, tidak terkecuali pemerintah Kabupaten bima. Dalam hal ini pemerintah daerah harus menyusun perencanaan pembangunan yang berorientasi pada hasil dan berwawasan kedepan. Menindak lanjuti undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah bab VII pasal 150 yang menyatakan bahwa daerah wajib memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) (Nurcholis Hanif, 2009: 7). Dengan adanya perencanaan pembangunan untuk kurun waktu 5 tahun kedepan ini, diharapkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah dan pembangunan dapat ditingkatkan, terciptanya hubungan yang harmonis dan saling memerlukan antara pemerintah dan masyarakat serta mempertinggi daya serap aspirasi masyarakat dalam program-program pemerintah untuk membangun daerah.
Dalam RPJP, RPJM, dan RKPD yang telah disusun, Pemerintah Kota Bima menemui banyak permasalahan mulai dari masalah pendidikan, kesehatan dan pembangunan sarana prasarana, salah satunya adalah belum maksimalnya penyediaan sarana prasarana olahraga, pembinaan serta pengembangan olahraga di Kabupten Bima. Seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 67 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan pemerintah dan pemerintah daerah, Serta pasal 21 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya. Pemerintah terus berusaha untuk menangani permasalahan yang ada, namun arah kebijakan pemerintah terkadang tidak sesuai dengan implementasi kebijakan sehingga memang sudah seharusnya dievaluasi agar tidak ada lagi kesenjangan antara kebijakan dan implementasi. Para pemangku kebijakan tentu telah membuat arah kebijakan pembangun melalui proses yang tidak mudah. Menurut Hamdi muchlis (2014: 79) proses pembuatan kebijakan publik dibedakan kedalam 5 tahap yaitu penentuan agenda, perumusan alternatif kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan atau implementasi kebijakan, dan penilaian atau evaluasi kebijakan.
Dari uraian kebijkan diiatas bisa kita maknai bahwa tercapainya suatu tujuan pembangunan di Kabupaten bima apabila Kebijakan Publik yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Bima  benar-benar dilaksanakan sesuai dengan alur kebijakannya. Beberapa tahun belakangan ini Pemerintah Kabupeten Bima baik Dispora dan KONI Nusa Tenggara Barat menemui banyak permasalahan keolahragaan, yang bahkan sampai saat ini masih belum terselesaikan. Pemerintah terkesan mengesampingkan permasalahan olahraga sehingga tidak serius untuk memajukan pembangunan olahraga di Kabupaten bima.
Pemerintah Kabupaten bima masih memandang bahwa kemajuan pembangunan olahraga dilihat dari jumlah medali yang diraih dalam event olahraga daerah dan nasional, padahal kemajuan pembangunan olahraga bukan diukur dari raihan medali saja, tetapi kemajuan pembangunan olahraga diukur dari pencapaian 4 aspek yaitu ketersediaan ruang terbuka publik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga, tingkat antusiasme masyarakat sehingga mau berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, jumlah sumber daya manusia keolahragaan yang memadai, dan tingkat kebugaran jasmani masyarakat. Dari ketidakseriusan inilah sehingga Pemerintah Kabupaten Bima belum menyadari adanya paradigma baru dalam mengukur kemajuan pembangunan olahraga, hal ini juga dibuktikan dengan belum adanya penelitian-penelitian yang mengkaji sudah sejauh mana upaya pemerintah dalam memajukan pembangunan olahraga di Kabupaten khususnya dan di Khususnya Nusa Tenggara Barat pada umumnya.
Dari permasalahan inilah yang kemudian berdampak pada kurangnya perhatian pemerintah untuk membangun sarana prasarana olahraga di kabupaten dan kota  seperti gedung olahraga, lapangan, sport center, dll. Padahal dalam proyeksi belanja APBD di sektor pembangunan infrastruktur, jelas telah tecantum program pembangunan dan peningkatan sarana prasarana olahraga Kabupaten dan kota bima, namun pada kenyataannya justru yang terjadi malah penciutan ruang terbuka olahraga bagi masyarakat karena banyaknya tempat olahraga yang beralih fungsi menjadi mini market, komplek perumahan dan pusat aktivitas bisnis.
Dari permasalahan-permasalah di atas terlihat bahwa ada kesenjangan antara kebijakan dan implementasi kebijakan. Menurut Mutohir dan Maksum (2007: 144) timbulnya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi disebabkan oleh beberapa faktor termasuk keterbatasan daya dukung, upaya yang dilakukan masih bersifat parsial dan kurang komprehensif  sehingga proses pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional termasuk prestasi belum dapat dilaksanakan secara sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan sejak usia dini dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya  bahwa perlu adanya suatu evaluasi atau penilaian kebijakan menyangkut pembahasan kembali terhadap implementasi atau pelaksanaan kebijakan pembangunan olahraga di Kabupaten Bima.
Evaluasi kebijakan dapat menyangkut perspektif yang lebih luas, sebagaimana dinyatakan oleh Thomas R.Dye (dalam Hamdi M, 2014: 107) bahwa evaluasi kebijakan merupakan pembelajaran mengenai konsekuensi dari kebijakan publik (learning about the consequences of public policy). Untuk mengevaluasi hasil pembangunan olahraga Kabupaten Bima maka perlu dilakukan penelitian studi Implementasi.
Menurut Tangkilisan (dalam Agus kristiyanto, 2012; 52). Dalam mengimplementasi kebijakan, secara umum ada tiga aspek yang diharapkan dari seorang analis atau implementasi kebijakan yaitu: (1) aspek perumusan kebijakan, dimana analis atau  evaluator berupaya untuk menentukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan dirumuskan; (2) aspek implementasi kebijakan , dimana analis atau evaluator berupaya mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan; dan (3) aspek evaluasi, dimana analis atau evaluator berusaha untuk  mengetahui apa dampak yang ditimbukan oleh tindakan kebijakan, baik dampak yang diinginkan maupun dampak yang tidak diinginkan.
Tolak ukur pembangunan olahraga yang digunakan oleh para pengambil kebijakan,pada masa lalu selalu mengacu pada prestasi cabang olahraga tertentu, Prestasi tersebut kemudian diperkuat dengan perolehan simbol-simbol kemenangan dalam bentuk medali kemenangan, Dengan demikian kerangka pemikiran yang digunakan selalu berujung pada upaya-upaya memperoleh medali kemenangan sebanyak-banyaknya, Semakin banyak medali yang dapat atau diraih, maka semakin menonjol prestasi olahraga di suatu daerah, Setiap daerah akan berusaha mengungguli daerah lain dengan menunjukkan jumlah medali.
Simbol kompetisi olahraga memang terkait dengan medali kemenangan, Anggapan tersebut memang demikian adanya, terlebih lagi kalau pembenaran itu mengacu pada kompetisi olahraga multi event serperti Pekan Olahraga Nasional yang telah bertahun-tahun dilaksanakan, menurut Kristiyanto A (2012: 41) bahwa Pesta olahraga yang memiliki nilai Nation Character Building tersebut, kerap kali mengalami simplifikasi nilai sehingga hanya dianggap sebagai ajang persaingan perolehan medali antar daerah se Indonesia, Banyak sedikitnya medali yang didulang menjadi tolak ukur martabat daerah dalam pembangunan olahraga. Senada dengan hal tersebut Mutohir dan Maksum (2007: 19) mengatakan bahwa ukuran tersebut bersifat semu dan manipulatif. Semu karena ukuran tersebut tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan manipulatif karena sangat boleh jadi medali yang diperoleh di dapat melalui cara-cara yang tidak elegan. Suatu daerah yang memperoleh medali terbanyak dalam PON, tidak serta merta dapat dijastifikasi bahwa daerah yang bersangkutan maju olahraganya.
Dengan tidak meninggalkan tolok ukur medali kemenangan sebagai cara melihat keberhasilan pembinaan prestasi olahraga, maka indikator keberhasilan pembangunan olahraga yang lebih menyeluruh dan mendasar perlu lebih dikedepankan, Indikator keberhasilan pembangunan olahraga mengacu pada dimensi: (1) partisipasi, (2) ruang terbuka,(3) kebugaran,dan (4) sumber daya manusia, Keempat dimensi gabungan tersebut mencerminkan keberhasilan pembangunan olahraga yang kemudaian lazim disebut sebagai Sport Development Index (Ali Maksum, dkk, 2004).
Sport Development Index atau SDI sebenarnya merupakan konsep baru yang menganalog konsep Human Development Index atau HDI, Dalam konsep HDI, kemajuan pembangunan manusia disuatu negara dapat ditentukan dengan menggunakan indikator tertentu. Jika HDI dapat menentukan tingkat kualitas manusia pada suatu Negara, maka Sport Development index atau SDI di harapkan dapat menentukan tingkat kemajuan pembangunan olehraga sisuatu daerah, termasuk dapat digunakan untuk melakukan komperasi kemajuan pembangunan olahraga antar daerah Indonesia, Dengan demikian penciptaan iklim “persaingan” keberhasilan pembangunan olahraga akan mengarah pada pembangunan hakikat olahraga yang mendasar, bukan persaingan pada sesuatu yang instan dalam wujud prestasi semu dan berdemensi waktu jangka pendek (Kristiyanto A, 2012: 42).
Kebutuhan akan instrumen yang standar untuk menilai kemajuan pembangunan olahraga semangkin mendesak untuk dipenuhi seiring dengan arah kebijakan pembangunan nasional dari pola sentaralistik ke disentralistik, Dengan kewenangan baru yang dimiliki, daerah,kota dapat berkompetisi secara sehat dalam rangka memajukan pembangunan olahraga daerah/kota, kini telah dirintis bahkan telah diuji cobakan dibeberapa propinsi, yakni melalui sebuah pengkajian indeks pembangunan olahraga yang dikenal dengan Sport Development Index (SDI).
Pengkajian SDl memandang kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah berdasarkan kemajuan dalam empat aspek, Pertama, adalah partisipasi masyarakat, yang menunjukan indikator keterlibatan aktif masyarakat suatu daerah terhadap aktivitas olahraga. Kedua, adalah ruang terbuka atau ruang publik yang dimiliki oleh suatu daerah yang dapat diakses untuk kegiatan olahraga masyarakat. Ketiga, adalah tingkat kebugaran fisik masyarakat, dan keempat adalah sumber daya manusia keolahragaan yang dimiliki dan dapat didayagunakan oleh suatu daerah untuk memajukan olahraga di daerah.
Upaya pengkajian untuk mengukur kemajuan pembangunan olahraga perlu dilakukan tiap-tiap daerah atau kota untuk mengetahui secara lebih akurat besarnya nilai indeks pembangunan olahraga, Indeks tersebut merupakan indeks gabungan dari empat demensi yang meliputi dimensi partisipasi masyarakat dalam aktivitas olahraga, ruang terbuka atau ruang publik yang dapat diakses masyarakat untuk kegiatan olahraga, kebugaran fisik masyarakat, dan sumber daya manusia (SDM) keolahragaan.
Dengan demikian, suatu daerah/kota dikatakan maju dalam pembangunan olahraganya, bila: pertama, partisipasi masyarakar dalam berolahraga tinggi; kedua, ruang rerbuka atau ruang publik yang dimiliki daerah memadai dari sisijumlah, luas dan variasinya. ketiga, masyarakatnya memiliki kebugaran jasmani yang bagus, dan keempat, daerah tersebut memiliki Sumher Daya Manusia yang secara kualitas dan kuantitas sangat memadai untuk memajukan olahraga.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar