Propinsi Nusa
Tenggara Barat, terdiri dari 8 Kabupaten (Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok
Timur, Lombok Utara, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima) dan 2 Kota
(Mataram dan Bima). Kabupaten Bima, yang merupakan bagian dari propinsi NTB,
berada di ujung timur propinsi NTB, bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari
Kabupaten Bima). Di sebelah barat, Kabupaten Bima berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Dompu, Selat Sape di sebelah timur, Laut Flores di sebelah utara dan
di sebelah selatan dengan Samudera Indonesia.
Saat ini luas
wilayah Kabupaten Bima mencapai 4.389,40 Hektar, dengan perincian 54.36 persen
hutan negara, 9.25 persen hutan rakyat. Luas lahan yang dipergunakan untuk
persawahan sebesar 6,98 persen, kemudian 13.07 persen tanah tegal/kebun. Tanah
yang sementara ini tidak diusahakan mencapai 5.21 persen. Lainnya merupakan
lahan tambak, kolam, perkebunan dan lain‐lain.
Di
Kabupaten Bima terdapat 18 kecamatan. Kecamatan Sanggar dan Tambora merupakan
kecamatan yang berlokasi terjauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Bima, dimana
jarak masing – masing sekitar 130 km dan 250 km. Selain itu, kedua kecamatan
ini merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Bima dengan luas masing-masing 720
km2 dan 505 km2. Ibukota Kecamatan Donggo yang berlokasi di desa O’o mempunyai
ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan laut. Hal ini menjadikan Kecamatan
Donggo sebagai kecamatan dengan lokasi ketinggian di atas permukaan laut yang
tertinggi.
Sebagai salah
satu aspek pembangunan, Pemerintah memiliki fungsi strategis dalam menunjang
tingkat kesejahteraan masyarakat karena berkaitan kegiatan olahraga, estetika
serta kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari. Dampak negatif yang disebabkan
oleh kualitas lingkungan yang buruk, menuntut pemerintah sebagai mediator
pembangunan olahraga di kabupaten bima.
Kabupaten Bima merupakan
wilayah terbesar dikota bima yang memiliki 18 kecamatan dengan indeks
pembangunan manusia tertinggi dibandingkan kota bima. Kondisi sumber daya
manusia Kabupaten Bima dapat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pada tahun 2005, IPM Kabupaten Bima sebesar 61,70 dan meningkat menjadi 65,02
pada tahun 2009 dan diproyeksikan IPM Kabupaten Bima meningkat menjadi 66,23
pada tahun 2010. Pertumbuhan ini berada diatas rata – rata dan tidak kalah
cepat dan tidak kalah cepat dengan daerah – daerah lain. (BPS dan Bappeda
Kabupaten Bima, 2010).
Bila proses pembangunan daerah hanya mengacu pada perencanaan
pembangunan nasional saja, maka potensi pembangunan daerah tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal karena daerah yang akan bertumbuh cepat hanyalah
daerah yang kondisi dan potensinya sesuai dengan prioritas pembangunan
nasional. Proses pembangunan pada daerah lainnya tentu akan kurang optimal
karna kurang didukung oleh prioritas pembangunan nasional. Di samping itu,
melalui rencana pembangunan daerah tersebut, permasalahan khusus daerah akan
dapat ditanggulangi secara lebih tepat dan perbedaan potensi potensi
pembangunan tersebut akan dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dengan cara
demikian, pertumbuhan ekonomi daerah akan dapat dioptimalkan dan ketimpangan
pembangunan antar daerah akan dapat pula diminimumkan. Karena itu, wajar
kirannya kalau Gillie (1967) mengatakan bahwa: “National planning and Regional Planning generally go together, though
the two have not always been established simultaneously in a logical way”. (Sjafrijal,
Pembangunan daerah 2014:12.)
Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia pada suatu
daerah dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan
yang paling mendasar di masyarakat tersebut dapat teratasi.
Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah kemiskinan, pengangguran,
buta huruf, ketahanan pangan, dan penegakan demokrasi. Namun persoalannya
adalah capaian pembangunan manusia secara parsial sangat bervariasi dimana
beberapa aspek pembangunan tertentu berhasil dan beberapa aspek pembangunan
lainnya gagal.
Dewasa ini persoalan mengenai capaian pembangunan telah menjadi
perhatian para penyelenggara pemerintahan, tidak terkecuali pemerintah
Kabupaten bima. Dalam hal ini pemerintah daerah harus menyusun perencanaan
pembangunan yang berorientasi pada hasil dan berwawasan kedepan. Menindak
lanjuti undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah bab VII
pasal 150 yang menyatakan bahwa daerah wajib memiliki dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),
dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) (Nurcholis Hanif, 2009: 7). Dengan
adanya perencanaan pembangunan untuk kurun waktu 5 tahun kedepan ini,
diharapkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah dan pembangunan
dapat ditingkatkan, terciptanya hubungan yang harmonis dan saling memerlukan
antara pemerintah dan masyarakat serta mempertinggi daya serap aspirasi
masyarakat dalam program-program pemerintah untuk membangun daerah.
Dalam RPJP, RPJM, dan RKPD yang telah disusun, Pemerintah Kota Bima
menemui banyak permasalahan mulai dari masalah pendidikan, kesehatan dan
pembangunan sarana prasarana, salah satunya adalah belum maksimalnya penyediaan
sarana prasarana olahraga, pembinaan serta pengembangan olahraga di Kabupten
Bima. Seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 67 bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan
kebutuhan pemerintah dan pemerintah daerah, Serta pasal 21 yang menyatakan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan dan
pengembangan olahraga sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya.
Pemerintah terus berusaha untuk menangani permasalahan yang ada, namun arah
kebijakan pemerintah terkadang tidak sesuai dengan implementasi kebijakan
sehingga memang sudah seharusnya dievaluasi agar tidak ada lagi kesenjangan
antara kebijakan dan implementasi. Para pemangku kebijakan tentu telah membuat
arah kebijakan pembangun melalui proses yang tidak mudah. Menurut Hamdi muchlis
(2014: 79) proses pembuatan kebijakan publik dibedakan kedalam 5 tahap yaitu
penentuan agenda, perumusan alternatif kebijakan, penetapan kebijakan,
pelaksanaan atau implementasi kebijakan, dan penilaian atau evaluasi kebijakan.
Dari uraian kebijkan diiatas bisa kita maknai bahwa tercapainya
suatu tujuan pembangunan di Kabupaten bima apabila Kebijakan Publik yang dibuat
oleh Pemerintah Kabupaten Bima benar-benar
dilaksanakan sesuai dengan alur kebijakannya. Beberapa tahun belakangan ini Pemerintah
Kabupeten Bima baik Dispora dan KONI Nusa Tenggara Barat menemui banyak
permasalahan keolahragaan, yang bahkan sampai saat ini masih belum terselesaikan.
Pemerintah terkesan mengesampingkan permasalahan olahraga sehingga tidak serius
untuk memajukan pembangunan olahraga di Kabupaten bima.
Pemerintah
Kabupaten bima masih memandang bahwa kemajuan pembangunan olahraga dilihat dari
jumlah medali yang diraih dalam event olahraga daerah dan nasional, padahal
kemajuan pembangunan olahraga bukan diukur dari raihan medali saja, tetapi
kemajuan pembangunan olahraga diukur dari pencapaian 4 aspek yaitu ketersediaan
ruang terbuka publik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga,
tingkat antusiasme masyarakat sehingga mau berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga, jumlah sumber daya manusia keolahragaan yang memadai, dan tingkat
kebugaran jasmani masyarakat. Dari ketidakseriusan inilah sehingga Pemerintah Kabupaten
Bima belum menyadari adanya paradigma baru dalam mengukur kemajuan pembangunan
olahraga, hal ini juga dibuktikan dengan belum adanya penelitian-penelitian
yang mengkaji sudah sejauh mana upaya pemerintah dalam memajukan pembangunan
olahraga di Kabupaten khususnya dan di Khususnya Nusa Tenggara Barat pada
umumnya.
Dari permasalahan inilah yang
kemudian berdampak pada kurangnya perhatian pemerintah untuk membangun sarana
prasarana olahraga di kabupaten dan kota seperti gedung olahraga, lapangan, sport
center, dll. Padahal dalam proyeksi belanja APBD di sektor pembangunan
infrastruktur, jelas telah tecantum program pembangunan dan peningkatan sarana
prasarana olahraga Kabupaten dan kota bima, namun pada kenyataannya justru yang
terjadi malah penciutan ruang terbuka olahraga bagi masyarakat karena banyaknya
tempat olahraga yang beralih fungsi menjadi mini market, komplek perumahan dan
pusat aktivitas bisnis.
Dari permasalahan-permasalah di atas terlihat bahwa ada kesenjangan
antara kebijakan dan implementasi kebijakan. Menurut Mutohir dan Maksum (2007:
144) timbulnya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi disebabkan oleh
beberapa faktor termasuk keterbatasan daya dukung, upaya yang dilakukan masih
bersifat parsial dan kurang komprehensif
sehingga proses pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional
termasuk prestasi belum dapat dilaksanakan secara sistematik, berjenjang, dan
berkelanjutan sejak usia dini dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Artinya bahwa perlu adanya suatu
evaluasi atau penilaian kebijakan menyangkut pembahasan kembali terhadap
implementasi atau pelaksanaan kebijakan pembangunan olahraga di Kabupaten Bima.
Evaluasi kebijakan dapat menyangkut perspektif yang lebih luas,
sebagaimana dinyatakan oleh Thomas R.Dye (dalam Hamdi M, 2014: 107) bahwa
evaluasi kebijakan merupakan pembelajaran mengenai konsekuensi dari kebijakan
publik (learning about the consequences
of public policy). Untuk mengevaluasi hasil pembangunan olahraga Kabupaten
Bima maka perlu dilakukan penelitian studi Implementasi.
Menurut Tangkilisan (dalam Agus kristiyanto, 2012; 52). Dalam
mengimplementasi kebijakan, secara umum ada tiga aspek yang diharapkan dari
seorang analis atau implementasi kebijakan yaitu: (1) aspek perumusan
kebijakan, dimana analis atau evaluator
berupaya untuk menentukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan
dirumuskan; (2) aspek implementasi kebijakan , dimana analis atau evaluator
berupaya mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan; dan (3) aspek
evaluasi, dimana analis atau evaluator berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbukan oleh
tindakan kebijakan, baik dampak yang diinginkan maupun dampak yang tidak
diinginkan.
Tolak ukur pembangunan
olahraga yang digunakan oleh para pengambil kebijakan,pada masa lalu selalu
mengacu pada prestasi cabang olahraga tertentu, Prestasi tersebut kemudian
diperkuat dengan perolehan simbol-simbol kemenangan dalam bentuk medali
kemenangan, Dengan demikian kerangka pemikiran yang digunakan selalu berujung
pada upaya-upaya memperoleh medali kemenangan sebanyak-banyaknya, Semakin
banyak medali yang dapat atau diraih, maka semakin menonjol prestasi olahraga
di suatu daerah, Setiap daerah akan berusaha mengungguli daerah lain dengan menunjukkan
jumlah medali.
Simbol kompetisi
olahraga memang terkait dengan medali kemenangan, Anggapan tersebut memang
demikian adanya, terlebih lagi kalau pembenaran itu mengacu pada kompetisi
olahraga multi event serperti Pekan Olahraga Nasional yang telah bertahun-tahun
dilaksanakan, menurut Kristiyanto A (2012: 41) bahwa Pesta olahraga yang memiliki
nilai Nation Character Building tersebut, kerap kali mengalami simplifikasi
nilai sehingga hanya dianggap sebagai ajang persaingan perolehan medali antar
daerah se Indonesia, Banyak sedikitnya medali yang didulang menjadi tolak ukur
martabat daerah dalam pembangunan olahraga. Senada dengan hal tersebut Mutohir
dan Maksum (2007: 19) mengatakan bahwa ukuran tersebut bersifat semu dan
manipulatif. Semu karena ukuran tersebut tidak menggambarkan kondisi yang
sebenarnya dan manipulatif karena sangat boleh jadi medali yang diperoleh di
dapat melalui cara-cara yang tidak elegan. Suatu daerah yang memperoleh medali
terbanyak dalam PON, tidak serta merta dapat dijastifikasi bahwa daerah yang
bersangkutan maju olahraganya.
Dengan tidak meninggalkan
tolok ukur medali kemenangan sebagai cara melihat keberhasilan pembinaan prestasi
olahraga, maka indikator keberhasilan pembangunan olahraga yang lebih
menyeluruh dan mendasar perlu lebih dikedepankan, Indikator keberhasilan pembangunan
olahraga mengacu pada dimensi: (1) partisipasi, (2) ruang terbuka,(3) kebugaran,dan
(4) sumber daya manusia, Keempat dimensi gabungan tersebut mencerminkan
keberhasilan pembangunan olahraga yang kemudaian lazim disebut sebagai Sport
Development Index (Ali Maksum, dkk, 2004).
Sport
Development Index atau SDI sebenarnya merupakan konsep
baru yang menganalog konsep Human
Development Index atau HDI, Dalam konsep HDI, kemajuan pembangunan manusia
disuatu negara dapat ditentukan dengan menggunakan indikator tertentu. Jika HDI
dapat menentukan tingkat kualitas manusia pada suatu Negara, maka Sport Development index atau SDI di
harapkan dapat menentukan tingkat kemajuan pembangunan olehraga sisuatu daerah,
termasuk dapat digunakan untuk melakukan komperasi kemajuan pembangunan
olahraga antar daerah Indonesia, Dengan demikian penciptaan iklim “persaingan”
keberhasilan pembangunan olahraga akan mengarah pada pembangunan hakikat
olahraga yang mendasar, bukan persaingan pada sesuatu yang instan dalam wujud
prestasi semu dan berdemensi waktu jangka pendek (Kristiyanto A, 2012: 42).
Kebutuhan akan
instrumen yang standar untuk menilai kemajuan pembangunan olahraga semangkin
mendesak untuk dipenuhi seiring dengan arah kebijakan pembangunan nasional dari
pola sentaralistik ke disentralistik, Dengan kewenangan baru yang dimiliki,
daerah,kota dapat berkompetisi secara sehat dalam rangka memajukan pembangunan
olahraga daerah/kota, kini telah dirintis bahkan telah diuji cobakan dibeberapa
propinsi, yakni melalui sebuah pengkajian indeks pembangunan olahraga yang
dikenal dengan Sport Development Index
(SDI).
Pengkajian SDl memandang
kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah berdasarkan kemajuan dalam empat
aspek, Pertama, adalah partisipasi masyarakat, yang menunjukan indikator
keterlibatan aktif masyarakat suatu daerah terhadap aktivitas olahraga. Kedua,
adalah ruang terbuka atau ruang publik yang dimiliki oleh suatu daerah yang
dapat diakses untuk kegiatan olahraga masyarakat. Ketiga, adalah tingkat
kebugaran fisik masyarakat, dan keempat adalah sumber daya manusia keolahragaan
yang dimiliki dan dapat didayagunakan oleh suatu daerah untuk memajukan
olahraga di daerah.
Upaya pengkajian untuk
mengukur kemajuan pembangunan olahraga perlu dilakukan tiap-tiap daerah atau
kota untuk mengetahui secara lebih akurat besarnya nilai indeks pembangunan
olahraga, Indeks tersebut merupakan indeks gabungan dari empat demensi yang
meliputi dimensi partisipasi masyarakat dalam aktivitas olahraga, ruang terbuka
atau ruang publik yang dapat diakses masyarakat untuk kegiatan olahraga,
kebugaran fisik masyarakat, dan sumber daya manusia (SDM) keolahragaan.
Dengan demikian, suatu daerah/kota
dikatakan maju dalam pembangunan olahraganya, bila: pertama, partisipasi
masyarakar dalam berolahraga tinggi; kedua, ruang rerbuka atau ruang publik
yang dimiliki daerah memadai dari sisijumlah, luas dan variasinya. ketiga,
masyarakatnya memiliki kebugaran jasmani yang bagus, dan keempat, daerah
tersebut memiliki Sumher Daya Manusia yang secara kualitas dan kuantitas sangat
memadai untuk memajukan olahraga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar